Pages

21 November 2012

KELILING KOTA DEMI “KENJA KETULA-TULA”




Ada satu pengalaman yang paling berkesan dalam hidupku ketika mencari sebuah buku. Sebenarnya mencari buku itu adalah tugas temanku, Ayuk namanya. Tapi gara-gara dia aku juga ikut merasakan susahnya mendapatkan sebuah buku berjudul “Kenja Ketula-tula”.

Jadi ceritanya begini, beberapa bulan yang lalu aku diminta Ayuk untuk menemaninya membeli buku. Aku pikir hanya buku biasa yang mudah didapat dimana-mana. Buku itu sangat penting bagi Ayuk, karena buku itu adalah referensi utama dalam skripsinya. Sebenarnya dia sudah punya, tapi hanya dalam bentuk foto copy. Namun sang dosen tak mau menerima skripsinya sebelum buku yang asli ia dapatkan. Alhasil berpetuanglah kita berdua mencari buku berjudul “Kenja Ketula-tula” karangan Widi Widajat.

Dimulai dari kota Semarang. Dari Gramedia, Togamas, Gunung Agung, Merbabu, hingga kios-kios buku bekas di Pasar Johar dan di Stadion Diponegoro sudah kami singgahi. Namun tak satupun dari toko-toko itu yang menjual buku “Kenja Ketula-tula”. Akhirnya pulanglah kami berdua dengan tangan hampa.

Beberapa hari berikutnya, salah seorang teman kos kami pergi ke Jogja. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dengan sedikit memelas dan memaksa, akhirnya kami berhasil membujuk teman kami itu untuk berkeliling Jogja demi mencari “Kenja Ketula-tula”. Ada sedikit harapan di hatiku terutama Ayuk untuk segera mendapatkan buku itu. Namun hingga keesokan harinya temanku mengirim pesan bahwa ia sudah berkeliling Jogja tapi buku itu tak juga didapat. Ah, harus patah hati lagi rupanya.

Akhirnya tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah Ayuk (bersamaku tentunya) ke Solo. Sriwedari jadi tujuan kami. Pasalnya menurut informasi dari orang-orang, di Sriwedari banyak dijual buku-buku kuno.

Sesampainya kami di Sriwedari, satu persatu kios kami kunjungi. Ketika kami sampai di kios milik Pak Umar hati kami berbunga-bunga. Katanya Pak Umar memiliki buku yang kami cari. Setelah menunggu beberapa menit, Pak Umar mengeluarkan sebuah buku tipis dengan sampul agak koyak dan warna kertas yang sudah menguning.

Lega sekali rasanya bisa memegang buku itu setelah berkelana kesana-kemari. Namun sayangnya buku itu tinggal satu dan tidak diperjualbelikan. Kami hanya boleh menyewanya dengan harga seratus ribu rupiah.

“Ah, tak apalah keluar uang seratus ribu yang penting skripsi lancar”, begitu pikir temanku. Sesampainya di Semarang, aku tak sabar untuk segera membaca buku itu. Dan betapa terkejutnya aku begitu melihat harga yang tertera di sampul belakang buku itu. Rp 125.

Gubrakkk.... rasanya aku ingin pingsan saja. Buku semurah ini disewakan dengan harga seratus ribu? Belum lagi perjalanan berliku yang kami tempuh demi mendapatkan buku seharga Rp 125. Ah, namanya juga buku kuno. Setengah mati mencarinya. Benar-benar pengalaman paling berkesan dalam sejarah hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sudah berkunjung, nggak enak dong kalo nggak ninggalin jejak.
Silahkan berkomentar yang sopan yaa....