Pages

26 Desember 2012

TANGAN AJAIB SAHABAT KECILKU


Lewat jemari tangan kirinya, ia hidup. Ia menggenggam, menulis dan menggambar. Bagiku ia luar biasa. Ia bisa melakukan apa yang tidak bisa aku lakukan.


Namanya Rani. Aku mengenalnya sejak duduk di bangku TK. Dia sahabat karibku. Kami berdua sepertinya ditakdirkan untuk hidup bersama, saling melengkapi dan berbagi. Dari mulai TK hingga SMA aku selalu sekelas dengannya, bahkan hingga saat ini ketika kami berdua sudah duduk di bangku kuliah. Yah, kali ini kami memang tidak satu kampus lagi tapi persahabatan kami masih tetap terjalin dengan baik.

“Terima kasih kau telah bersedia menjadi sahabatku,” begitu kalimat yang ia tulis di setiap kartu ucapan ulang tahun yang ia berikan padaku. Aku pasti akan terharu dan menitikkan air mata ketika membaca kartu-kartu itu. Apalagi jika ia menambahkan kata-kata lain yang sontak akan membuatku banjir air mata.

“Bagiku kau bukan hanya seorang sahabat, tetapi juga tangan kananku.”

Ya, kata-kata itu selalu berhasil menguras air mataku. Sahabatku itu terlahir dalam keadaan fisik yang tidak sempurna. Tangan kanannya cacat. Sehingga untuk makan, menulis dan kegiatan apapun ia lakukan hanya dengan mengandalkan tangan kirinya. Ia selalu menganggapku sebagai tangan kanannya karena aku selalu membantu apa yang ia tidak bisa lakukan dengan tangan kirinya.

“Kau berlebihan. Kau lebih sempurna dariku. Kau bisa melakukan apa yang tidak bisa kulakukan,” jawabku membalas ucapannya itu. Jujur dalam hatiku, aku tak pernah memandang Rani sebagai manusia yang tidak sempurna. Bagiku ia sama seperti manusia normal lainnya. Dalam kekurangannya, ia selalu mengajarkanku banyak hal. Ia mengajarkan padaku tentang betapa pentingnya bersyukur, ikhlas dan semangat.

Meskipun demikian, banyak orang yang memandang Rani hanya dengan sebelah mata. Mereka hanya melihat penampilan fisiknya saja tanpa peduli hati dan bakat dalam diri Rani.

“Ayo pergi! Jangan berteman dengan anak itu, dia kan tak punya tangan!” begitu cemooh teman-teman sebayaku saat aku dan Rani duduk di bangku TK. Saat itu hati Rani pasti sangat terluka dan sedih. Tapi ia tetap bersabar dan tak membalas sedikitpun ejekan teman-teman. Hingga kami lulus TK, kemudian masuk SD, SMP hingga SMA. Tatapan-tatapan aneh seolah menguntitku saat aku berjalan di samping Rani. Aku heran. Ada apa gerangan dengan orang-orang itu? Kenapa mereka melihat Rani seolah Rani adalah manusia aneh? Hah, tak ada yang bisa aku perbuat selain menggenggam erat tangan Rani, dan menguatkan hatinya agar ia selalu tabah.

“Aku tak apa, percayalah,” katanya seolah tahu maksudku.

Ah, Rani. Kita memang tak pernah tahu rahasia besar Tuhan untuk diri kita. Tapi aku percaya Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk makhluknya. Dan rahasia itu kini terjawab sudah. Rani yang selalu dipandang rendah di mata orang lain menunjukkan bakatnya yang luar biasa. Lewat jemari satu tangannya itu ia selalu menggoreskan warna warni kisah hidupnya pada kanvas putih. Tangan ajaib itu mampu menyulap kanvas-kanvas polos dengan berbagai lukisan yang indah dan menakjubkan. Inilah bakat Rani sesungguhnya. Aku tahu ia sangat suka melukis sejak kecil, dan akhirnya ia berhasil mewujudkan mimpinya itu.

“Ini untukmu, sahabat dan tangan kananku. Jangan pernah bosan berdiri di sampingku karena aku tak bisa seperti ini tanpamu,” begitu katanya ketika menyerahkan lukisan yang berhasil membawa nama Rani menjadi juara. Aku memeluk erat sahabatku itu.

“Aku akan tetap menjadi sahabatmu, ada atau tanpa tangan kananmu.”