Pages

10 Mei 2013

HARTA DAN NYAWA MELAYANG GARA-GARA MIRAS

Beberapa bulan yang lalu, kampung saya digegerkan oleh berita meninggalnya dua orang pemuda setelah berpesta minuman keras (miras). Menurut berita yang beredar, kedua pemuda itu tewas mengenaskan setelah mengkonsumsi minuman keras dicampur dengan minyak angin. Entah bagaimana asal muasalnya kedua pemuda tersebut bisa meminum minuman keras dicampur dengan minyak angin. Padahal jika dipikir secara logika, minum minuman beralkohol saja tanpa dicampur zat apapun bisa memberikan efek kehilangan kesadaran (mabuk). Apalagi jika ditambah dengan zat lain yang kandungan senyawa dan kadar ukurannya tidak diketahui secara pasti, tentu saja akan sangat membahayakan bagi tubuh.

Sejauh mana pemahaman masyarakat akan bahaya miras bagi diri sendiri dan lingkungannya?

Miras atau minuman keras merupakan jenis minuman beralkohol yang mengandung senyawa ethanol. Zat ethanol adalah bahan psikoaktif yang apabila dikonsumsi berlebihan dan tanpa pengaturan dosis yang tepat bisa menyebabkan perubahan kesadaran maupun penurunan kesadaran.

Dalam agama Islam, sudah jelas dikatakan bahwa minuman keras apapun bentuknya itu, entah itu dalam porsi banyak ataupun sedikit, hukumnya adalah haram. Pada dasarnya hukum ini berlaku dalam agama apapun, hanya saja ada kaidah-kaidah tertentu dalam penetepannya. Kasus di atas hanyalah segelintir contoh dari bermacam kasus bahaya miras. Masyarakat dan para pemuda pun sebenarnya sudah mengetahui tentang ancaman bahaya miras yang suatu saat bisa merenggut nyawa. Tapi anehnya,
masyarakat kita apalagi kaum remajanya cenderung meremehkan bahaya tersebut.

Masyarakat kita saat ini cenderung mengikuti arus modernisasi, yang didalamnya ada beberapa hal negatif. Salah satu contohnya adalah miras. Mengkonsumsi miras saat ini dianggap sebagai hal yang wajar, bahkan terkesan kurang lengkap rasanya jika dalam suatu acara tidak disediakan minuman keras. Walaupun sudah banyak bukti disuguhkan kepada mereka, namun mereka tetap saja tak peduli.

Bagaimana peran masyarakat dalam pernyebaran akan bahaya miras dan harapannya kepada pemerintah dalam mengkampanyekan serta menyikapi bahaya miras?


Keluarga sebagai tempat paling utama untuk mengajarkan nilai-nilai moral, sangat berperan penting dalam menciptakan generasi muda yang religius dan mawas diri. Sejak usia dini seorang anak hendaklah diajarkan tentang bahaya miras, alkohol ataupun sejenismya. Pengenalan bahaya miras yang ditanamkan sejak dini, tentu akan membuat anak-anak dan remaja lebih berhati-hati dalam pergaulan mereka.

Masyarakat sebagai tempat bersosialisasi sudah sepatutnya saling mengingatkan dan menasehati, ketika ada anggota masyarakat yang bertindak kurang baik. Tentu saja mengingatkan dengan cara yang sopan tanpa menggunakan kekerasan. Selain itu, masyarakat juga berhak melaporkan kepada pihak yang berwajib jika ada tindakan penyalahgunaan miras di lingkungan sekitarnya. Hal ini dilakukan agar tercipta lingkungan masyarakat yang aman dan kondusif.

Dalam upaya pemeberantasana miras, pemerintah sebenarnya sudah melakukan banyak hal. Antara lain dengan melakukan penggrebekan terhadap penjual minuman keras, menaikkan pajak minuman beralkohol sehingga masyarakat ekonomi bawah tidak mampu menjangkaunya, sosialisasi bahaya miras dan minol di sekolah dan masyarakat.

Berbagai upaya ini tentu saja tidak akan berhasil tanpa kerjasama dengan masyarakat. Maka dari itu, alangkah baiknya kita bersama-sama pemerintah lebih menggalakkan lagi program pemusnahan miras dan minol. Dalam rangka menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas dan bebas dari miras.

8 Mei 2013

NAPAK TILAS BAHASA BELANDA DI INDONESIA


Beberapa waktu yang lalu ketika saya berjalan-jalan di Lawang Sewu Semarang, ada seorang turis tiba-tiba menyapa dengan bahasa yang tidak saya mengerti.

“gelieve mijn portret in de buurt van de spoorweg.”

Karena saya tidak tahu sang turis bicara apa, akhirnya saya hanya menimpali dengan senyum. Lalu sang turis pun mengulang ucapannya lagi. Sebenarnya saya masih tak paham dengan ucapannya itu. Saya hanya menangkap kata spoor berkali-kali. Lalu saya menjawab seadanya, “Of course.”

Sang turis langsung menyodorkan kameranya, dan ia berpose di dekat kereta api Lawang Sewu. Ternyata sang turis meminta saya untuk memotretnya di dekat kereta api.

Sepeninggal sang turis, saya lalu search di google translate apa itu artinya spoor. Ternyata spoor dalam Bahasa Indonesia berarti kereta api. Pengucapan kata spoor sama dengan pengucapan kata sepur (kereta api) dalam Bahasa Jawa.

Disadari atau tidak, keberadaan Belanda di Indonesia sangat berpengaruh terhadap kebudayaan bangsa. Bukan saja terlihat dari segi arsitektur dan pemerintahan saja, tetapi juga terlihat dari bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa (yang sebagian diantaranya) diadopsi dari Bahasa Belanda.

Sejarah kedatangan bahasa Belanda ke Indonesia tentu saja tidak terlepas dari sejarah pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Bahasa Belanda digunakan sebagai sebuah bahasa resmi di Indonesia, ketika Belanda menjajah sebagian wilayah kepulauan ini. Bahasa Belanda bukan merupakan bahasa resmi lagi sejak Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Di wilayah Papua, hal ini terjadi setelah penyerahan kekuasan Papua ke Republik Indonesia pada tahun 1963.

Pada masa Hindia-Belanda, di Maluku dan di Batavia didirikan sekolah-sekolah Belanda. Tetapi tidak semua orang boleh bersekolah di sana. Jumlah sekolah tidak banyak dan hanya kaum elit yang diperbolehkan masuk. Di sekolah mereka menuturkan bahasa Belanda namun di rumah biasanya sejenis bahasa Melayu atau bahasa Jawa.

Pada abad ke-20, Bahasa Melayu menjadi semakin penting, dan merupakan lingua franca di beberapa jajahan negara tetangga seperti Malaka, Singapura dan Brunei. Sejak abad ke-20 bahasa Belanda semakin menyebar di Indonesia dan banyak digunakan untuk percakapan sehari-hari. Pada 1942, ketika Jepang menduduki Hindia-Belanda, Jepang melarang penduduk Indonesia menggunakan bahasa Belanda dan hanya memperbolehkan bahasa Asia, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, masih banyak yang menuturkan bahasa Belanda di Indonesia. Jika seseorang bisa berbahasa Belanda, maka di beberapa tempat, ini artinya ia mengecap pendidikan yang baik. Bahasa Belanda masih digunakan sebagai bahasa sumber atau referensi yang sangat penting di Indonesia. Beberapa dokumen pemerintahan penting dalam bahasa ini masih tetap berlaku secara resmi. Sebagai bahasa perdagangan, bahasa Belanda juga cukup penting, meski bahasa Inggris tentu jauh lebih penting. Namun para penutur fasih bahasa ini sekarang umumnya hanyalah orang-orang tua saja, terutama di Jawa dan Bali. Mereka pernah mempelajari bahasa ini di sekolah dan masih menggunakannya, terutama pada reuni atau untuk bercakap-cakap dengan para wisatawan. Almarhum kakek saya termasuk salah satu dari yang bisa berbahasa Belanda.

Presiden Soekarno, sang presiden pertama dan proklamator Republik Indonesia tetap menggunakan bahasa Belanda dan membaca buku-buku Belanda. Karena memang banyak buku bernilai sejarah yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Maka dari itu, tidak ada salahnya bagi kaum muda untuk tetap belajar Bahasa Belanda. Agar kita bisa menggali lebih dalam kisah-kisah sejarah Indonesia dalam buku Belanda yang mungkin saja belum pernah terjamah oleh para pendahulu kita.

Sumber:
www.wikipedia.org

5 Mei 2013

RUMAH PINTAR

“Rumah Pintar”. Begitu aku menamai rumah kecilku yang saat ini ku sulap menjadi sebuah perpustakaan dan bimbingan belajar. Yap. Berawal dari hobi membaca buku, aku bermimpi untuk memiliki sebuah perpustakaan pribadi. Aku ingin semua koleksi bukuku tertata rapi dalam rak. Agar, jika suatu saat aku ingin membacanya kembali, aku tak perlu repot-repot membongkar kardus. Huh, selama ini buku-buku yang kusimpan dalam kardus bukannya awet, tapi malah rusak dimakan rayap.

Ide tentang pendirian perpustakaan ini awalnya hanya lewat saja dalam benakku. Waktu itu buku ku masih sedikit, mungkin hanya sekitar 20 buku. Itupun beberapa diantaranya buku-buku diktat kuliah. Anggaran untuk membeli buku pun belum aku rencanakan. Yah, maklum saat jadi mahasiswa uang sakuku selalu habis untuk kebutuhan yang lain. Namun, saat aku mulai menekuni hobiku yang lain, yakni menulis cerpen. Keinginan untuk memiliki perpustakaan pribadi begitu menggebu.

Aku sering mengikuti perlombaan menulis cerpen yang diadakan oleh penerbit-penerbit ataupun oleh komunitas-komunitas penulis. Dari sana, banyak hasil cerpenku yang dibukukan. Alhasil pasti ada dong keinginan untuk memamerkan hasil karyaku itu dalam rak yang berjajar rapi. Apalagi jika aku menang dalam sebuah kompetisi, hadiahnya buku pula. Daripada aku menyediakan banyak kardus, mending buku-buku itu ku pamerkan saja dalam sebuah rak kaca minimalis. Sejak saat itu terciptalah perpustakaan mini-ku.

Perpustakaanku ada bukan hanya untukku pribadi, tetapi juga untuk teman-teman yang hobi dan ingin menambah pengetahuan melalui membaca. Terutama untuk anak didikku di bimbingan belajar yang aku kelola sendiri. Aku prihatin kepada mereka. Kebanyakan orang tua mereka hanya bekerja sebagai buruh harian di pabrik rokok. Sekolah mereka pun bukan sekolah elite yang padat fasilitas. Sekolah mereka hanya SD biasa yang bisa dikatakan minim fasilitas. Betapa tidak, untuk buku pelajaran saja mereka hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah. Itupun hanya dalam bentuk LKS (Lembar Kerja Siswa) yang hanya dipinjamkan ketika di sekolah saja. Ketika di rumah, para siswa belajar dengan catatan mereka seadanya.

Terkadang aku membuka-buka buku mereka. Kudapati coretan-coretan pena yang kebanyakan tak bisa kubaca. Maklum anak SD. Ah, aku jadi kasihan kepada mereka. Kalau seperti ini bagaimana caranya mereka bisa pintar belajar di rumah?

Maka dari itu, “Rumah Pintar”ku hadir untuk mereka. Membimbing mereka belajar dan membantu menyediakan buku-buku untuk mereka. Yah, meskipun belum maksimal. Mudah-mudahan perpustakaan mini ku itu bisa membantu dan membawa mereka ke arah masa depan yang lebih baik lagi. Amin...